Alumnice.co – Karya Apakah Yang Ditanggapi Novel Student Hidjo

See a Problem?
Student Hidjo
by Marco Kartodikromo.
Thanks for telling us about the problem.
Friend Reviews
To see what your friends thought of this book, please sign up.
Community Reviews
335 ratings
·
70 reviews

Student Hidjo
Lha. Drama abis. Yang termaktub di kepala hanya Hidjo dan kisah romansanya. Ada sedikit cerita tentang kontrasnya Bumiputera (sebutan untuk orang Hindia/pribumi jaman dulu) dengan Belanda (orang Belanda) pada masanya, tapi kadarnya hanya sebagai penyedap rasa.
Mengutip dari blurb pada sampul belakang: Novel ini pertama kali ditulis tahun 1918 sebagai cerita bersambung di “Harian Sinar Hindia”, kemudian terbit sebagai buku tahun 1919. Aku bertanya-tanya orang-orang pada jaman itu juga menyukai kis
Lha. Drama abis. Yang termaktub di kepala hanya Hidjo dan kisah romansanya. Ada sedikit cerita tentang kontrasnya Bumiputera (sebutan untuk orang Hindia/pribumi jaman dulu) dengan Belanda (orang Belanda) pada masanya, tapi kadarnya hanya sebagai penyedap rasa.
Mengutip dari blurb pada sampul belakang: Novel ini pertama kali ditulis tahun 1918 sebagai cerita bersambung di “Harian Sinar Hindia”, kemudian terbit sebagai buku tahun 1919. Aku bertanya-tanya orang-orang pada jaman itu juga menyukai kisah romansa–sama seperti orang-orang yang hidup pada masa sekarang–mengingat pada tahun-tahun itu negeri ini masih dijajah.
Diulas bersama hal-memalukan-sekaligus-membanggakan di sini: http://bibliough.blogspot.co.id/2016/…
…more
Melissa
rated it
liked it
Ceritanya sederhana, bahasanya ringan, ada saat penulis berinteraksi dengan pembaca. Deskriptif dalam hal menggambarkan suasana/background di jaman itu, sehingga seperti dibawa ke Solo di tahun 1800an. Hanya saja judulnya sedikit membuat pembaca punya “harapan” sendiri akan isi ceritanya. Yang pada akhirnya ternyata berbeda. Karena tidak ada cerita tentang kehidupan “Student”, buku ini murni menceritakan tentang percintaan anak muda jaman itu dengan segala permasalahannya.
Menarik. Ada saatnya k
Ceritanya sederhana, bahasanya ringan, ada saat penulis berinteraksi dengan pembaca. Deskriptif dalam hal menggambarkan suasana/background di jaman itu, sehingga seperti dibawa ke Solo di tahun 1800an. Hanya saja judulnya sedikit membuat pembaca punya “harapan” sendiri akan isi ceritanya. Yang pada akhirnya ternyata berbeda. Karena tidak ada cerita tentang kehidupan “Student”, buku ini murni menceritakan tentang percintaan anak muda jaman itu dengan segala permasalahannya.
Menarik. Ada saatnya kita membutuhkan buku yang ceritanya mengalir begitu saja tanpa perlu banyak perdebatan antara pemikiran penulis dan pembaca.
…more
Tak Hanya Soal Perkawinan atau Perjodohan, Tapi Melawan Penjajahan
Membaca novel yang ditulis hampir satu abad yang lalu, seperti Student Hidjo karya Marco Kartodikromo ini tentu membutuhkan banyak referensi terutama sejarah agar pembacaannya menjadi kaya dan menemukan keindahan dari ungkapan kata-kata maupun setting yang digunakan. Student Hidjo pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surat Kabar Harian Sinar Hindia tahun 1918. Diterbitkan pertama kali oleh N.V. Boekhandel en Drukkerij Masman
Tak Hanya Soal Perkawinan atau Perjodohan, Tapi Melawan Penjajahan
Membaca novel yang ditulis hampir satu abad yang lalu, seperti Student Hidjo karya Marco Kartodikromo ini tentu membutuhkan banyak referensi terutama sejarah agar pembacaannya menjadi kaya dan menemukan keindahan dari ungkapan kata-kata maupun setting yang digunakan. Student Hidjo pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surat Kabar Harian Sinar Hindia tahun 1918. Diterbitkan pertama kali oleh N.V. Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink Semarang, 1919. Kini diterbitkan kembali oleh Penerbit Bentang Yogyakarta justru tanpa tahun. Entahlah kenapa. Walau begitu kemunculan kembali novel ini diketahui pada tahun 2000. Selain diterbitkan oleh Bentang, juga diterbitkan Aksara Indonesia, juga berdomisili di Yogyakarta.
Pada pendahuluan yang dibuat pada tanggal 26 Maret 1919, Marco Kartodikromo, tanpa gelar Mas di depannya, menjelaskan bahwa Student Hidjo merupakan buah pena waktu menjalani hukuman perkara persdelict, di Civiel en Militair Gevangenhuis di Weltevreden selama satu tahun. Selain Student Hidjo, selama setahun di penjara itu, Marco juga menulis buku Sair Rempah-Rempah, Matahariah dan masih ada yang lain yang tak disebutkan. Sudah jelas tampak bahwa Marco adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan lain yang sangat terkenal judulnya bahkan hingga saat ini dan sering dianggap sebagai idiom cita-cita komunisme adalah Sair Sama Rata Sama Rasa yang kemudian juga menjadi slogan dan semboyan dalam perjuangan.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, semboyan Sama Rata Sama Rasa ini, di kalangan rakyat jelata mempunyai kekuatan yang menghidupi, dan kekuatan ini, yang tidak menarik para sarjana, telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit artinya bagi perjuangan untuk memenangkan kemerdekaan nasional dan keadilan sosial. Karena bagi rakyat, kemerdekaan nasional yang ditingkatkan dengan revolusi nasional diharapkan sekaligus mengandung di dalamnya keadilan sosial sebagaimana disebutkan tanpa sembunyi-sembunyi dalam salah satu sila dari Pancasila. (Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta, cetakan II 2003;96)
Selain sebagai pengarang sastra, Marco juga dikenal aktif dalam kegiatan jurnalisme dan politik. Ia dikenal sebagai pendiri pertama kali organisasi wartawan di Hindia Belanda, Inlandsche Journalisten Bond, IJB, di Surakarta tahun 1914, aktif di organisasi Serikat Islam sejak tahun 1911 dan meninggal dalam pangkuan organisasi Partai Komunis Indonesia, PKI, dalam pembuangan di Digul, Papua pada tanggal 18 Maret 1932. Marco Kartodikromo dilahirkan di Cepu, Blora, sekitar tahun 1890 dari keluarga priyayi rendahan dan sempat memperoleh pendidikan Ongko Loro di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputera Belanda di Purworejo.
Melalui novel ini, Marco dengan lembut, ringan, sederhana tapi tajam menyampaikan cita-cita dan pandangannya terhadap kolonialisme Belanda, termasuk dunia kapitalisme. Selain menceritakan hubungan perjodohan, percintaan dan pacaran model Eropa dan Timur, latar cerita novel ini adalah kongres Serikat Islam, di Solo yang begitu meriah dan penuh dukungan dari rakyat. Hidjo tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai student atau mahasiswa yang briliyan, cerdas dan cinta pada negeri dan keluarganya walau juga paham betul soal-soal sopan-santun adat Eropa. Ia pun dicintai banyak orang termasuk orang-orang Eropa.
Ketika Hidjo sampai di Amsterdam untuk melanjutkan studi ke Delf, tumbuhlah kesadaran yang luar biasa bagi dirinya yaitu bahwa mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda. Orang yang mana kalau di Tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala. Di sebuah Hotel, Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau orang yang baru datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya. (h. 46)
”Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda.” (h. 46)
Di bagian lain, konsepsi dunia kapitalisme disampaikan dengan ringan ketika Raden Nganten dan Raden Potronojo, orang tua Hidjo merasa tidak pantas bila sebagai keluarga saudagar hendak melamar putri seorang regent.
“Apakah Raden Ayu dan Raden Mas Tumenggung tidak malu mempunyai anak kawin dengan anaknya orang yang hina seperti kita?” tanya Raden Nganten bergurau
“Tidak Raden Nganten, zaman sekarang ini tidak ada lagi orang hina dan mulia. Kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja. Saya seorang Regent, itu kalau dipikir mendalam, badan saya ini tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Jadi saya ini sebagaimana perkataan umum ’buruh’ . Maka dari itu umpama anak saya kawin dengan anak Tuan apa jeleknya? Asal yang menjalaninya suka!” begitu kata Regent dengan panjang lebar kepada Raden Nganten (h.136-137).
Lihatlah, betapa berbeda 180 derajat dengan tema perkawinan dan perjodohan pada novel Azab dan Sengsara, Merari Siregar yang ditulis dua tahun kemudian dan diterbitkan Balai Pustaka dan tentu saja juga dengan novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli dalam tema yang sama perkawinan dan perjodohan yang juga diterbitkan Balai Pustaka. Pada Azab dan Sengsara, perjodohan masih mempertimbangkan orang hina dan mulia. Ayah Aminuddin tak menginginkan Aminuddin menikah dengan Mariamin yang miskin dan papa tapi menginginkan perkawinan yang sederajat, bangsawan dan kaya. Pada Siti Nurbaya, perjodohan dipaksakan oleh orang tua sementara pada Student Hidjo, Asal yang menjalaninya suka!
Membaca isi novel ini yang begitu kritis terhadap kolonialisme Belanda, sudah sewajarnya bila Penjajah Belanda melalui Balai Pustaka (1917) yang dilandasi nota Dr Rinkes itu tidak mengakui kesastraan Novel ini dan memasukkannya dalam kelompok bacaan liar. Yang mengherankan, justru sebagian dari kita saat ini, masih melupakan atau bahkan mengabaikan kemunculan novel ini dalam perkembangan Sastra Indonesia dan menganggap tidak penting kepengarangan dan perjuangan Marco Kartodikromo dalam melawan penjajahan Belanda dan melulu hanya berpatokan pada Balai Pustaka dengan kemunculan Novel Merari Siregar, Azab dan Sengsara itu.
Student Hidjo, sebuah Novel, layak dibaca kembali terutama oleh para pelajar dan mahasiswa saat ini agar semakin memahami dunia student di bawah penjajahan Belanda dan ketika jaman benar-benar dibangkitkan untuk bergerak oleh para pemuda terpelajar Hindia Belanda dengan berbagai cita-cita dan kehendak untuk merdeka dari penjajahan, terlebih dunia kita saat ini yang seakan kembali mengalami penjajahan baru, dengan semakin dikuasainya kekayaan alam bangsa kita oleh asing, privatisasi gila-gilaan BUMN-BUMN dan hancurnya industri nasional kita seperti industri gula, kopi, kayu….dan yang lain-lain akan menyusul..?
Jakarta, 9 November 2010
http://berdikarionline.com/suluh/2010…
…more
Too many unexplained side story, this book is not adequate for my taste.
catparov
rated it
really liked it
Saya teringat Max Lane pada suatu kesempatan berujar bahwa sebaiknya bangsa Indonesia banyak membaca buku-buku sastra pra-kemerdekaan Indonesia. Apa yang dikatakan Max Lane, sebenarnya ingin mengkritik cara pandang orang Indonesia kebanyakan terhadap kebudayaan Indonesia. Max Lane mengatakan bahwa kita kesulitan untuk mendefinisikan bagaimana kebudayaan Indonesia itu. Saya sepakat dengan Max, budaya Indonesia itu bukan tari-tarian dari Aceh sampai Papua, bukan gamelan, bukan batik, bukan angklun
Saya teringat Max Lane pada suatu kesempatan berujar bahwa sebaiknya bangsa Indonesia banyak membaca buku-buku sastra pra-kemerdekaan Indonesia. Apa yang dikatakan Max Lane, sebenarnya ingin mengkritik cara pandang orang Indonesia kebanyakan terhadap kebudayaan Indonesia. Max Lane mengatakan bahwa kita kesulitan untuk mendefinisikan bagaimana kebudayaan Indonesia itu. Saya sepakat dengan Max, budaya Indonesia itu bukan tari-tarian dari Aceh sampai Papua, bukan gamelan, bukan batik, bukan angklung, wayang, dan sebagainya.
Hal-hal tersebut di atas merupakan warisan dari budaya bangsa-bangsa yang lebih dahulu menghuni Indonesia; Jawa, Aceh, Papua, Minang, dan lainnya. Justru, kebudayaan Indonesia terbentuk setelah muncul kesadaran sebagai bangsa yang satu dan tentu saja penggunaan bahasa Indonesia. Tulisan-tulisan R.A. Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Soekarno, Sjahrir, Hatta, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, bahkan Mas Marco merupakan bentuk dari kebudayaan Indonesia. Merekalah sang pemula, seorang pelopor gagasan bangsa yang satu.
Maka tak berlebihan jika salah satu karya Mas Marco yang ini juga memiliki andil untuk itu. Bagi saya ya, bagi saya, sekalipun cerita di sini penuh romansa, Mas Marco sebetulnya ingin menampilkan pergulatan identitas Hidjo sebagai pribumi Hindia-Belanda yang bersekolah di Belanda.
Ada sentilan manis Mas Marco untuk orang-orang Belanda. Salah satunya lewat percakapan antara Controleur dengan Sergeant
“Rupanya Tuan amat benci kepada orang Jawa. Apakah kalau Tuan menyuruh apa-apa kepada jongos orang Belanda, juga memakai perkataan yang begitu keji seperti itu?”
Terbilang manis sebab percakapan itu dilakukan oleh dua orang yang sama-sama orang Belanda.
Kita tentu tidak lupa dengan politik etis yang diterapkan Belanda. Di satu sisi, politik etis bermakna hutang budi. Lain sisi kebijakan itu bertujuan untuk melahirkan priyayi/golongan terpelajar pribumi yang nantinya dapat dipekerjakan oleh Belanda. Belanda tidak akan repot untuk mempertahankan politik adu dombanya. Politik etis itu, salah satunya pendidikan, menghasilkan beberapa golongan terpelajar yang tidak berdaya di hadapan Belanda. Beberapa yang lain, mampu membangkitkan kesadaran kolektif sebagai bangsa tertindas, salah satunya Mas Marco.
Salah satu buku penting bagi Indonesia, sayang ratingnya sedikit.
…more
FYI, sebenernya kesan awal gue terhadap buku ini adalah karena buku ini diterbitkan hampir 100 tahun yang lalu! Cukup menarik juga bahwa gue lagi membaca buku yang sama dengan yang orang baca pada tahun 1918. Somehow gave me a pretty bizarre feeling.
Anyway, Langsung ke topik. Pada awalnya, gue kira buku ini akan fokus menceritakan kehidupan Hidjo sebagai STUDENT (sesuai dengan judulnya) di Belanda pada jaman kolonialisme. Namun yang gue temukan hanya cerita bergenre romance yang agak… ya membi
FYI, sebenernya kesan awal gue terhadap buku ini adalah karena buku ini diterbitkan hampir 100 tahun yang lalu! Cukup menarik juga bahwa gue lagi membaca buku yang sama dengan yang orang baca pada tahun 1918. Somehow gave me a pretty bizarre feeling.
Anyway, Langsung ke topik. Pada awalnya, gue kira buku ini akan fokus menceritakan kehidupan Hidjo sebagai STUDENT (sesuai dengan judulnya) di Belanda pada jaman kolonialisme. Namun yang gue temukan hanya cerita bergenre romance yang agak… ya membingungkan sih, entah karena gaya penulisan jadul emang kaya gini ya. Tapi gue melihat alur ceritanya terlalu njelimet dan dipaksakan, terlebih soal endingnya, (maaf) maksain banget!
Btw ini spoiler ya, Jadi, awalnya, gue ditunjukkan adegan-adegan penuh kemesraan antara Hidjo dengan tunangannya, Biroe. (Disini ada poin plus, karena sang penulis mampu menggambarkan suasana kemeriahan di Sriwedari pada tahun segitu dengan cukup detail).
Oke, karena udah tunangan sama Hidjo, jadi yaa gue pikir cerita romance hanya bertumpu pada kegalauan Hidjo dan Biroe yang mesti LDRan karena si Hidjo mesti lanjut kuliah di Belanda.
BUT NOOOO! tiba-tiba muncul karakter baru bernama Woengoe (cewek) dan Wardojo (cowok) yang notabene adalah anak pejabat, dan orangtua mereka adalah teman baik dari orangtua Hidjo.
Untuk menggambarkan seberapa bingungnya gue dengan alurnya, singkatnya begini: Hidjo cinta Biroe, Biroe juga cinta Hidjo, ternyata Woengoe juga cinta Hidjo, dan Wardojo cinta Biroe. Secara tidak langsung, Wardojo sayang juga dengan Woengoe. Di Belanda, Hidjo suka sama Betje, dan Betje cinta Hidjo, tapi Hidjo masih memikirkan perasaan Biroe. Di Jawa, ada seorang Controleur bernama Walter yang punya kekasih bernama Roos. Roos cinta Walter, tapi Walter benci Roos. Karena Walter menaruh hati pada Biroe. Lha, cerita studentnya mana? KAGAK ADA!
Pokoknya endingnya ga akan sesuai dengan perkiraan lo. Mesra-mesraannya sama siapa.. eh ga taunya kawin sama siapa. Sampe gue mikir, ini ngawinin karakter seenaknya banget kayak ngawinin ayam.
Tapi yaa.. gue apresiasi lah, tahun segitu termasuk hebat lho udah bisa bikin karya seperti ini. Makanya gue persembahkan respect gue dalam bentuk 3 bintang aja deh.
…more
Buku ini HARUS dibaca tiap anak Indonesia. Sekali lagi: HARUS.
Ceritanya sederhana, tidak banyak konflik, dan happy ending. Maka dari itu, cerita ini bisa dibaca siapapun, bahkan tiap anak Sekolah Dasar di Indonesia.
Kenapa kubilang harus? Barangkali sama seperti alasan kenapa buku ini dilarang Pemerintah Kolonial. Karena ya, orang Hindia memang tidak perlu lah membudak pada orang Belanda. Dan paradigma bukan budak memang harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak Indonesia, agar tidak menjadi gen
Buku ini HARUS dibaca tiap anak Indonesia. Sekali lagi: HARUS.
Ceritanya sederhana, tidak banyak konflik, dan happy ending. Maka dari itu, cerita ini bisa dibaca siapapun, bahkan tiap anak Sekolah Dasar di Indonesia.
Kenapa kubilang harus? Barangkali sama seperti alasan kenapa buku ini dilarang Pemerintah Kolonial. Karena ya, orang Hindia memang tidak perlu lah membudak pada orang Belanda. Dan paradigma bukan budak memang harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak Indonesia, agar tidak menjadi generasi dengan pikiran terjajah. Apalagi sudah terlanjur banyak yang membaca buku semacam Laskar Pelangi itu. *ah masih dendam*
Ungkapan lucu di buku ini, bahwa ada tertawa penuh, ada setengah tertawa, dan ada seperempat tertawa. Ada ya.
Student Hijo diterbitkan bersambung tahun 1918. Anak muda seratus tahun lalu menggunakan bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa sekaligus. Bahasa campuran digunakan dalam bahasa gaulnya. Yang aku penasaran, seperti apa bahasa Indonesia sehari-hari sekarang, yang akan dibaca orang-orang 100 tahun mendatang? Apa ciyuus? Miapah?
…more
I don’t get it. Is it a love story with some political aspect or is it a politically-charged writing with some love intrigues (if it can be called an intrigue)? The love story is very lame. The political part springs up from nowhere going nowhere.
The editing is extremely poor and the translation the most horrible of them all. I never have any formal education of Javanese languange, but I know much better than to translate “idep dekeng” as “alis yang melengkung”. I’m contemplating….should I go
I don’t get it. Is it a love story with some political aspect or is it a politically-charged writing with some love intrigues (if it can be called an intrigue)? The love story is very lame. The political part springs up from nowhere going nowhere.
The editing is extremely poor and the translation the most horrible of them all. I never have any formal education of Javanese languange, but I know much better than to translate “idep dekeng” as “alis yang melengkung”. I’m contemplating….should I go ahead and accuse that they just plug in the text to Google Translator?
A total waste of time.
…more
Saya diberi tugas mengkaji sastra klasik oleh dosen, dan buku inilah yang saya pilih, dengan harapan besar bahwa buku ini akan menelanjangi habis-habisan soal diskriminasi pada masa kolonial. Tapi yang lebih dominan nyatanya kisah cinta. Novel percintaan klasik dengan sedikit bumbu kritik. Kemudian saya mafhum, kapan dan di situasi seperti apa buku ini ditulis oleh Marco. Tipikal roman klasik memang begini.
Rio Johan
rated it
did not like it
Andaikata yang jadi pasangan pada akhir novel: Hidjo-Betje, Walter-Woengoe, dan barangkali bolehlah Biroe-Wardojo.
Ada ekspektasi yang cukup tinggi sebelum membaca buku ini. Selain karena ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, buku ini ditulis pada zaman yang cukup dekat dengan latar waktu dan peristiwa yang dipaparkan dalam cerita. Sayangnya, ekspektasi tersebut tidak terlalu terpenuhi, terutama di bagian kehidupan Hidjo sebagai
student
di Delf, Belanda. Judul buku ini bisa saja “Student Hidjo”, namun terlalu banyak menceritakan romansa antara Hidjo, Raden Adjeng Biroe, bahkan Betje, seorang gadis Belanda. Se
Ada ekspektasi yang cukup tinggi sebelum membaca buku ini. Selain karena ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, buku ini ditulis pada zaman yang cukup dekat dengan latar waktu dan peristiwa yang dipaparkan dalam cerita. Sayangnya, ekspektasi tersebut tidak terlalu terpenuhi, terutama di bagian kehidupan Hidjo sebagai
student
di Delf, Belanda. Judul buku ini bisa saja “Student Hidjo”, namun terlalu banyak menceritakan romansa antara Hidjo, Raden Adjeng Biroe, bahkan Betje, seorang gadis Belanda. Sedikit sekali menemukan kehidupan Hidjo sebagai pelajar rantau yang dikisahkan di buku ini. Kehidupan Hidjo di Belanda justru lebih diceritakan sebagai pemuda yang bebas dan hidup nyaman di negeri orang.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang menarik dan patut digarisbawahi di sini. Pertama, Mas Marco menggambarkan bagaimana kehidupan priyayi Jawa pada tahun 1900-an dengan sangat apik. Mulai dari deskripsi tentang keluarga, maupun dari pembawaan tokoh-tokoh yang bergelar “raden” tersebut. Kedua, Mas Marco juga menunjukkan mengenai persepsi segelintir orang Belanda terhadap bumiputera, pun juga menunjukkan persepsi bumiputera terhadap Belanda. Bagian paling menarik tentang hal tersebut ada di interaksi antara Hidjo dan gadis-gadis Belanda,
Controleur
Walter dengan Sergeant Djepris, dan artikel “Bangsa Belanda di Hindia”. Ketiga, buku ini juga menyoroti mengenai SI alias Sarekat Islam tahun 1913 yang mengadakan Kongres Kedua di Sriwedari, Solo.
Untuk segi bahasa dan penulisan, aku cukup nyaman membaca tulisan yang ditulis tahun 1918 ini, meskipun terdapat banyak bahasa Belanda yang dicampur dengan bahasa Melayu. Hal tersebut sangat terbantu dengan adanya catatan kaki yang menjelaskan arti, meskipun kudapati tidak semua kata dalam bahasa Belanda diartikan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, terdapat juga tulisan yang menggunakan bahasa Jawa dan ejaan lama, namun kurasa itu semakin menunjukkan karya ini sebagai karya yang “lahir pada zamannya”. Cara Mas Marco dalam membangun narasi juga tidak menjemukkan atau membingungkan pembaca.
Jadi, bagi siapapun yang menyukai cerita dengan latar kolonial, aku merekomendasikan ini!
…more
I choose this book because many sources claim this piece is the start of the resistance literature of Indonesia. I wasn’t hoping that this piece would be as critical as Pram’s quartet books or other works from Chairil since they are from different periods.
Marco wrote Student Hidjo before Balai Pustaka formed. Harian Sinar Hindia published it for the first time in 1918. Balai Pustaka refused to publish the book because of the style and provocative storyline. It was distributed to readers as ille
I choose this book because many sources claim this piece is the start of the resistance literature of Indonesia. I wasn’t hoping that this piece would be as critical as Pram’s quartet books or other works from Chairil since they are from different periods.
Marco wrote Student Hidjo before Balai Pustaka formed. Harian Sinar Hindia published it for the first time in 1918. Balai Pustaka refused to publish the book because of the style and provocative storyline. It was distributed to readers as illegal work. After a year, they published Student Hidjo as a book.
This is not a reciprocate plotted novel. Marco used the romance genre to squeeze the symbols of resistance in the love events of the story. You may be focus to Biroe and Woelan feelings to Hidjo, or Hidjo to Betje in Delft. It is indeed a complicated love story and matchmaking. Javanese matchmaking culture was very strict. But pay attention also to Walter that couldn’t marry Woelan because of her father’s Ideology of intermarriage. Pay attention to Walter’s writings about his opinion about the proud Netherlands that lived in Indonesia. If the book perplexed you about where is the moral of the story, please look at Hidjo feeling after being seduced by Betje.
Please read it carefully. Understand that he set the story before Indonesia liberates. Only a few Indonesian students can study abroad at Delft. A lot of Indonesian people were proud to be like the dutch. People of the Netherland thought of Hindian as thieves. And Marco wants to tell the readers not only from Indonesian perspectives but also from Walter’s perspectives as a people of the Netherland.
You may not satisfied after reading this piece of Marco. It’s not as spicy as other Indonesian resistance literature. But if you want to know how Indonesian writers developed through time and being resistant to the colonial system that rooted in Indonesia for 315 years, you can start with this piece.
…more
Don’t judge the book by it’s title. Setidaknya, asumsi itu yang kembali saya ingat ketika melewatkan beberapa bab di buku ini. Bayangan tentang Student Hidjo dengan sampul vintage tentunya terkait bagaimana Hidjo mendapatkan pendidikan selama masa Belanda berkuasa. Tapi bukan tentang itu.
Buku ini bercerita tentang intrik hubungan romansa antara Hidjo, tunangannya, adik kawannya, dan anak tuan tempat mukimnya di Belanda. Like what? Lalu, ada pula dua laki-laki lain yang turut “berebut” wanita itu
Don’t judge the book by it’s title. Setidaknya, asumsi itu yang kembali saya ingat ketika melewatkan beberapa bab di buku ini. Bayangan tentang Student Hidjo dengan sampul vintage tentunya terkait bagaimana Hidjo mendapatkan pendidikan selama masa Belanda berkuasa. Tapi bukan tentang itu.
Buku ini bercerita tentang intrik hubungan romansa antara Hidjo, tunangannya, adik kawannya, dan anak tuan tempat mukimnya di Belanda. Like what? Lalu, ada pula dua laki-laki lain yang turut “berebut” wanita itu. Berputar di situ-situ saja sebenarnya, hingga ending yang cukup Hmmm…
Terlepas dari kisah cinta yang pelik itu, saya me-highlight beberapa poin.
“Karena sesungguhnya manusia itu tak ada biedanya, baik bangsa bumiputera maupun bangsa Belanda dan lain-lain.”
Pesan ini menyuratkan betapa kesetaraan ras diusung begitu kuat dalam Student Hidjo. Ada beberapa bagian yang mengulang nilai ini, meskipun rasionya begitu jomplang dengan pembahasan perasaan tiap tokoh.
“Apakah Raden Ayu dan Raden Mas Tumenggung tidak malu mempunyau anak kawin dengan anaknya orang yang hina seperti kita?”
Di sini, tokoh masih juga menunjukkan betapa setiap orang memiliki kedudukan yang sama. Terlepas dari jabatan atau kelas sosial yang berbeda, tetapi “semua manusia itu sama saja”. Di sini juga terlihat, betapa balas budi orang tua dengan mengawinkan masing-masing anak merupakan hal lazim, meski tentunya tetap mempertimbangkan consent dari kedua mempelai.
“Biar orang laki-laki yang masak sendiri dan mengatur rumah tangga sendiri!”
Isu kesetaraan gender juga disampaikan lewat sedikit penggalan dialog karakternya. Terlihat jika urusan domestik masih dipandang sebagai pekerjaan kaum perempuan. Namun adanya perlawanan meski dilandasi dengan gurauan merupakan kemajuan yang cukup baik untuk disambut.
…more
Jenny N
rated it
liked it
Buku ini merupakan salah satu novel perintis sastra perlawanan, begitu yang tertulis pada belakang buku terbitan Narasi tahun 2018. Bercerita tentang anak seorang saudagar bernama Hidjo yang meneruskan studi ke Belanda dan kehidupan kerabat-kerabat Hidjo di Hindia Belanda selama ditinggal Hidjo ke Belanda.
Barangkali yang menjadikan novel ini sebagai salah satu novel perlawanan ada di bagian bab XVII. Di bab ini diselipkan brosur berjudul “Bangsa Belanda di Hindia” yang isinya kurang lebih berisi
Buku ini merupakan salah satu novel perintis sastra perlawanan, begitu yang tertulis pada belakang buku terbitan Narasi tahun 2018. Bercerita tentang anak seorang saudagar bernama Hidjo yang meneruskan studi ke Belanda dan kehidupan kerabat-kerabat Hidjo di Hindia Belanda selama ditinggal Hidjo ke Belanda.
Barangkali yang menjadikan novel ini sebagai salah satu novel perlawanan ada di bagian bab XVII. Di bab ini diselipkan brosur berjudul “Bangsa Belanda di Hindia” yang isinya kurang lebih berisi kritik kepada orang Belanda yang menganggap pribumi (yang sepertinya ditujukan kepada Orang Jawa. Anda akan paham kenapa saya bilang orang Jawa jika membaca konteks pada novel ini) adalah manusia rendahan dan tak tau adab.
Sebenarnya, menurut saya poin utama dari cerita ini adalah kisah cinta antara Hidjo, Biroe, Woengoe, dan Wardojo yang rumit. Bayangkan saja, Hidjo adalah tunangan dari Biroe, namun dia menaruh hati pada Woengoe, Woengoe juga menaruh hati pada Hidjo tetapi tahu diri karena Hidjo adalah tunangan orang lain, sedangkan Biroe ternyata tertarik pada saudara laki-laki Woengoe, yaitu Wardojo. Mungkin Anda pusing membaca penjelasan saya, karena saya juga. Namun, jika Anda berharap kisah cinta ini berjalan secara dramatis sampai tiap tokoh membunuh sama lain, lebih baik Anda cari novel lain saja, karena hal itu tidak akan terjadi di cerita ini.
Terlepas dari isi cerita novel yang menjadikan penjajahan dan ketidakadilan yang terjadi hanya sekadar tempelan (bagi saya), membaca novel ini membuat saya ingin belajar di Belanda.
…more
astari
rated it
liked it
This review has been hidden because it contains spoilers. To view it, click here.
⭐⭐⭐3.5
Pertama kali menemukan Student Hidjo di perpustakaan kampus satu hal yang langsung terbesit.
“Oh, mungkin bakal nyeritain bagaimana orang jaman dulu sekolah kali ya, susah-senangnya gimana.”
Karena judulnya yang ‘Student’, jadilah ekspektasi di atas yang mengawali pembacaan karya ini. Tetapi setelah membaca secara keseluruhan, yang saya dapati justru kisah percintaan antara muda-mudi di jaman sekitaran 1912-an (kalau ingatan saya tidak salah).
Memang jalan ceritanya tidak sesuai ekspektasi,
⭐⭐⭐3.5
Pertama kali menemukan Student Hidjo di perpustakaan kampus satu hal yang langsung terbesit.
“Oh, mungkin bakal nyeritain bagaimana orang jaman dulu sekolah kali ya, susah-senangnya gimana.”
Karena judulnya yang ‘Student’, jadilah ekspektasi di atas yang mengawali pembacaan karya ini. Tetapi setelah membaca secara keseluruhan, yang saya dapati justru kisah percintaan antara muda-mudi di jaman sekitaran 1912-an (kalau ingatan saya tidak salah).
Memang jalan ceritanya tidak sesuai ekspektasi, tapi membaca ‘Student Hidjo’ berhasil membawa saya pada suasana masa kolonial. Ketimbang Hidjo, saya lebih tertarik dengan tokoh Controleur Walter yang sangat mencintai Hindia (utamanya Jawa). Hal ini terlihat di bab-bab akhir buku.
Bab akhir yang disajikan juga berhasil membuat saya (sedikit saja) heran. Hal ini disebabkan karena akhir dari tokoh-tokoh pendukung (seperti Walter, Betje, Jet Roos, dan Boeren) menurut saya sangat dipaksakan. Sekali lagi itu menurut saya. Tapi overall, saya senang karena mereka berakhir dengan bahagia.
…more
Yanuar Fahmi
rated it
it was amazing
Saran saya, jangan terlalu dalam berekspektasi sebelum membaca novel Student Hidjo ini. Banyak yang termakan ekspektasi terhadap nama Mas Marco dengan background orang buangan di masa Belanda dan keterlibatannya dalam PKI. Juga bila dibandingkan dengan tulisan Mas Marco lainnya, Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel, novel ini terkesan amat apolitis. Memang untuk orang awam, termasuk saya, novel ini hanya terbaca sebatas roman saja. Tapi bila dipahami lebih dalam, ada poin-poin yang berusaha M
Saran saya, jangan terlalu dalam berekspektasi sebelum membaca novel Student Hidjo ini. Banyak yang termakan ekspektasi terhadap nama Mas Marco dengan background orang buangan di masa Belanda dan keterlibatannya dalam PKI. Juga bila dibandingkan dengan tulisan Mas Marco lainnya, Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel, novel ini terkesan amat apolitis. Memang untuk orang awam, termasuk saya, novel ini hanya terbaca sebatas roman saja. Tapi bila dipahami lebih dalam, ada poin-poin yang berusaha Mas Marco munculkan. Poin paling berat yang berhasil saya dapat adalah perbandingan keberadaban kaum Pribumi (digambarkan Raden Hidjo dan famili sebagai orang Jawa) dan kebejatan kaum Barat. Sedikit mengherankan juga apabila terpikir seorang tahanan di pengasingan untuk bisa membuahkan tulisan manis semacam ini, namun itu pula yang ajaib. Memang dari sisi radikalisme aktivis novel ini tergolong standar atau bahkan kurang, tapi dari sisi imajinasi, novel ini jauh melampaui masanya, apalagi kalau dibanding novel macam Tere Liye.
Sekali lagi, jangan terlalu berekspektasi.
…more
Alih-alih novel, sebenarnya ini cerbung (cerita bersambung). Namun memang panjang sekali sehingga ketika dibukukan menjadi berbentuk novel. Novel ini dimuat dalam surat kabar pada masa pergerakan, sehingga banyak unsur partai dan pemerintahan dalam negeri yang terkandung dalam novel ini. Apabila dikaji menggunakan sosiologi sastra, novel ini menjadi sangat-sangat menarik.
Novel ini mengangkat tema pergerakan, gender, dan etnisitas. Yang menarik dari novel ini adalah naa karakternya yang adalah Hi
Alih-alih novel, sebenarnya ini cerbung (cerita bersambung). Namun memang panjang sekali sehingga ketika dibukukan menjadi berbentuk novel. Novel ini dimuat dalam surat kabar pada masa pergerakan, sehingga banyak unsur partai dan pemerintahan dalam negeri yang terkandung dalam novel ini. Apabila dikaji menggunakan sosiologi sastra, novel ini menjadi sangat-sangat menarik.
Novel ini mengangkat tema pergerakan, gender, dan etnisitas. Yang menarik dari novel ini adalah naa karakternya yang adalah Hidjo, yang bertunangan dengan Woengoe yang memiliki saudara bernama Biroe, sehingga nama-nama mereka mudah untuk diingat. Perlu diingat bahwa Hidjo berangkat ke Belanda untuk belajar. Namun alih-alih belajar, ia malah “dilirik” oleh orang-orang disana.
Saya menyukai akhir novel ini yang memberikan
good ending
kepada semua karakter, padahal konflik antar etnis serta antar kelompok sangat kental di dalam novelnya.
…more
Awal saya ingin membeli buku ini hanya karena buku ini terbitan seabad yang lalu, yang mana mungkin akan menarik ceritanya. Setelah selesai membaca saya rasa buku ini menarik, tetapi tentu ada kekurangan dan kelebihannya. Kekurangannya yaitu konflik yang diangkat disini seperti tidak ada dan hanya berkaitan dengan cerita roman saja. Kemudian tidak menceritakan lebih detail mengenai perjalanan studi si Hidjo di Belanda, hanya sekedar plesir dan melancong saja. Untuk kelebihan dari buku ini tentu
Awal saya ingin membeli buku ini hanya karena buku ini terbitan seabad yang lalu, yang mana mungkin akan menarik ceritanya. Setelah selesai membaca saya rasa buku ini menarik, tetapi tentu ada kekurangan dan kelebihannya. Kekurangannya yaitu konflik yang diangkat disini seperti tidak ada dan hanya berkaitan dengan cerita roman saja. Kemudian tidak menceritakan lebih detail mengenai perjalanan studi si Hidjo di Belanda, hanya sekedar plesir dan melancong saja. Untuk kelebihan dari buku ini tentu kita para pembaca dapat menambah kosakata bahasa Belanda ya walau hanya beberapa kata, kemudian bisa melihat beberapa tulisan surat dengan ejaan lama di mana itu yang menambah kesan yang unik dan antik, dan yang terakhir yaitu buku ini kembali menegaskan bahwa semua manusia itu memiliki derajat yang sama, dan tentu tidak semua orang Belanda itu jahat, pasti ada juga yang baik. Begitu pula orang pribumi tidak semuanya jahat, tentu ada juga yang baik. Jadi tak dapat disamaratakan.
…more
Secara cerita, novel tipis ini terlalu tipis. Tapi yang luar biasa adalah settingnya di awal abad 20 yang menjadi awal tonggak kebangkitan nasional. Ditulis tahun 1930, novel ini mengambarkan dengan begitu tenang kondisi Hindia Belanda tahun 1915an, yang kontras sekali dengan kondisi bangsa bumi putra yang tengah terjajah. Karena memotret kalangan atas, jadi kurang tergambarkan kondisi riil bangsa di ranah akar rumput.
Poin menarik ada pada penggambaran Nederland yang digambarkan setara dan tern
Secara cerita, novel tipis ini terlalu tipis. Tapi yang luar biasa adalah settingnya di awal abad 20 yang menjadi awal tonggak kebangkitan nasional. Ditulis tahun 1930, novel ini mengambarkan dengan begitu tenang kondisi Hindia Belanda tahun 1915an, yang kontras sekali dengan kondisi bangsa bumi putra yang tengah terjajah. Karena memotret kalangan atas, jadi kurang tergambarkan kondisi riil bangsa di ranah akar rumput.
Poin menarik ada pada penggambaran Nederland yang digambarkan setara dan ternyata sama saja, manusia pada dasarnya serupa, ada yang baik ada juga yang jahat, terlepas dia seorang Belanda atau bumiputra.
Bagian endingnya juga ‘luar biasa’: kisah kehidupan enam karakter utama di novel ini berhasil diselesaikan hanya dalam satu paragraf di setengah halaman paling akhir.
…more
Menceritakan tentang kehidupan salah satu laki laki pribumi pada jaman penjajahan Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yang sangat memegang teguh budaya dan prinsip prinsip budaya timur, sampai akhirnya dia pindah ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya.
Segala sesuatu berubah; mulai dari kehidupannya di Belanda itu sendiri hingga segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan keluarganya di Hindia Belanda. Buku yang cukup menarik, dengan membacanya bisa memberi kita bayangan pada apa yang t
Menceritakan tentang kehidupan salah satu laki laki pribumi pada jaman penjajahan Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yang sangat memegang teguh budaya dan prinsip prinsip budaya timur, sampai akhirnya dia pindah ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya.
Segala sesuatu berubah; mulai dari kehidupannya di Belanda itu sendiri hingga segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan keluarganya di Hindia Belanda. Buku yang cukup menarik, dengan membacanya bisa memberi kita bayangan pada apa yang terjadi pada dunia pendidikan, sosial budaya, hingga politik yang terjadi di Hindia Belanda pada waktu itu. Walau menurut saya konflik yang ada pada cerita ini tidak terlalu kompleks dan endingnya ceritanya pun tidak begitu spesifik dalam memaparkan kehidupan yang telah dilalui oleh karakter karakter yang ada pada buku itu setelah masalah selesai , termasuk si Karakter Hidjo itu sendiri.
…more
Isma
rated it
it was ok
Marco Kartodikromo atau Mas Marco lahir di Cepu, Blora, 1890. Sebab kami berasal dari daerah yang sama, saya cukup excited untuk membaca karya-karyanya karena unsur kedekatan budaya.
Saya pikir buku ini akan seberat bahasan Pram, tapi ternyata tidak, malah di bawah ekspektasi saya: lebih ringan, banyak romansa, penuh bunga-bunga, dan too much priyayi life lah (serasa jiwa inferior dan insecure meronta, pa lah hamba dibandingkan Raden Ajeng Biroe dan Raden Ajeng Woengoe, wkwk, LOL).
Malah hal yan
Marco Kartodikromo atau Mas Marco lahir di Cepu, Blora, 1890. Sebab kami berasal dari daerah yang sama, saya cukup excited untuk membaca karya-karyanya karena unsur kedekatan budaya.
Saya pikir buku ini akan seberat bahasan Pram, tapi ternyata tidak, malah di bawah ekspektasi saya: lebih ringan, banyak romansa, penuh bunga-bunga, dan too much priyayi life lah (serasa jiwa inferior dan insecure meronta, pa lah hamba dibandingkan Raden Ajeng Biroe dan Raden Ajeng Woengoe, wkwk, LOL).
Malah hal yang ditonjolkan dalam judul “student” atau pendidikan sedikit sekali diulas. Hanya, cukup terhibur dengan kondisi Sriwedari masa itu pas masih jadi kebun binatang, taman, dan tempat berkumpul masyarakat yang banyak hiburannya. Juga konteks bersejarah pendirian Sarekat Islam di Solo (1905).
Selebihnya hipokrisi kaum ningrat dengan haha-hihi-nya.
…more
roman klasik yang klise sekali, persis cerita2 ftv bedanya ini latar waktunya di Solo awal 1900. bahasanya masih pakai ejaan lama jadi lumayan puyenggg. karena ini historical fiction, nuansanya penuh sekali dgn nilai2 adat kesopanan & kultur Jawa-Belanda, cara hidup & privilese org2 golongan priyayi, termasuk situasi Solo era itu yg masih di bawah pemerintahannya PB X (raja sugihnya Solo) sehingga sering sekali penulis mention2 Taman Sriwedari yg dibangun raja—yg dulu ada kebun binatangnya dan j
roman klasik yang klise sekali, persis cerita2 ftv bedanya ini latar waktunya di Solo awal 1900. bahasanya masih pakai ejaan lama jadi lumayan puyenggg. karena ini historical fiction, nuansanya penuh sekali dgn nilai2 adat kesopanan & kultur Jawa-Belanda, cara hidup & privilese org2 golongan priyayi, termasuk situasi Solo era itu yg masih di bawah pemerintahannya PB X (raja sugihnya Solo) sehingga sering sekali penulis mention2 Taman Sriwedari yg dibangun raja—yg dulu ada kebun binatangnya dan jd kebun binatang pertama di Indo.
di bbrp bagian disinggung soal kritik kolonialisme, rasisme pribumi & non pribumi, bahkan sistem2 perjodohan yg sering dipakai sbg alat mobilitas sosial.
(judulnya Student Hidjo tp ga ada cerita gimana Hidjo belajar jadi insiyur di Belanda, isinya cinta-cintaan aja udah🤣)
…more
An epic from the early Dutch Ethical Policy period. Published as a newspaper serial, the piece was written by Marco behind the bar. The “sarcasm” was really soft in deliverance, since it was embodied in love story clichè.
.
Though the set was inside the aristocracy wall, the spirit of egalitarian rebellion was easily found here and there in certain part, e.g. the dialogue between Walter and the demagog Sergeant.
.
Hidjo, Biroe, Woengoe and Wardojo were not portrayed as hero nor anti hero. They were
An epic from the early Dutch Ethical Policy period. Published as a newspaper serial, the piece was written by Marco behind the bar. The “sarcasm” was really soft in deliverance, since it was embodied in love story clichè.
.
Though the set was inside the aristocracy wall, the spirit of egalitarian rebellion was easily found here and there in certain part, e.g. the dialogue between Walter and the demagog Sergeant.
.
Hidjo, Biroe, Woengoe and Wardojo were not portrayed as hero nor anti hero. They were busy with their self-consciences, the guts on breaking taboos and fighting the temptation of comfort zone presented by their bloodlines.
…more
Membaca buku ini tidak butuh waktu lama, keren dan sederhana.
Pada masanya buku ini pasti sangat keren dan bikin gempar. Mengingat buku ini terbit pertama tahun 1918, saat Indonesia masih terjajah. Menyindir penjajah dengan mengungkapkan kenyataan perilaku orang-orang terpelajar dari negeri Belanda saat itu tentu membuat masalah besar. Sebuah keberanian.
Bahasa yang digunakan ringan, ceritanya sangat seserhana sebuah kisah percintaan antar warna… Tokoh-tokoh menggunakan nama-nama warna. Bagaima
Membaca buku ini tidak butuh waktu lama, keren dan sederhana.
Pada masanya buku ini pasti sangat keren dan bikin gempar. Mengingat buku ini terbit pertama tahun 1918, saat Indonesia masih terjajah. Menyindir penjajah dengan mengungkapkan kenyataan perilaku orang-orang terpelajar dari negeri Belanda saat itu tentu membuat masalah besar. Sebuah keberanian.
Bahasa yang digunakan ringan, ceritanya sangat seserhana sebuah kisah percintaan antar warna… Tokoh-tokoh menggunakan nama-nama warna. Bagaimana perjodohan tidak melulu dipandang sebagai hal yang buruk. Cinta yang muda… Dan perjalanan hidup yang cukup beruntung.
…more
Sejutaluka
rated it
really liked it
Ini buku alurnya santai banget, minim konflik. Tapi kalau kita mengingat tahun dimana tulisan ini terbit, sebetulnya merupakan sebuah perlawanan terhadap superioritas eropa di Hindia Belanda saat itu.
Alur yang sederhana menyisipkan realitas-realitas kelam strata sosial yang dibangun oleh pihak Belanda. Pilihan diksi yang digunakan pun tak sulit untuk dipahami, tidak glamour dengan istilah2 rumit, kecuali bahasa belanda yang memang pada saat itu juga digunakan sebagai bahasa keseharian oleh para
Ini buku alurnya santai banget, minim konflik. Tapi kalau kita mengingat tahun dimana tulisan ini terbit, sebetulnya merupakan sebuah perlawanan terhadap superioritas eropa di Hindia Belanda saat itu.
Alur yang sederhana menyisipkan realitas-realitas kelam strata sosial yang dibangun oleh pihak Belanda. Pilihan diksi yang digunakan pun tak sulit untuk dipahami, tidak glamour dengan istilah2 rumit, kecuali bahasa belanda yang memang pada saat itu juga digunakan sebagai bahasa keseharian oleh para kaum priyayi.
…more
Untuk sebuah novella perintis,sastra pergerakan, buku ini sangat biasa. Masalah pergerakan hanya disinggung sedikit di sepertiga akhir. Gambaran sosial dari kaum menengah dan menengah atas di era awal abad 20 sangat menarik. Benih ide pergerakan kebangsaan mulai muncul.
Garis besar buku ini kehidupan Hidjo dan orang di sekelilingnya. Pergerakan nasional hanya disinggung sepintas lalu. Dan penokohan karakternya terasa kurang alami. Segalanya tampak terlalu bagus untuk jadi nyata.
Hera Diani
rated it
really liked it
Buku ini…menggemaskan 🙂 Gaya bahasa, karakterisasinya (meski simplistik) sungguh membuat gemas dan terhibur. Jangan bayangin seperti sastra perlawanan ala Pram, ini lebih tentang kisah percintaan sederhana Mas Boy pada awal abad 20. Kalau sekarang dibuat film, sutradaranya mesti Sofia Coppola ini 🙂
biasa aja menurut saya pribadi dengan isinya, memang secara garis besar bicara mengenai gap antara priyayi bumputera dengan orang belanda. Paling endingnya sangat tak terduga dan mencengangkan haha. 6/10
Pera
rated it
liked it
Ceritanya sederhana
jalan hidup yang cenderung aman padahal hidup di zaman perang dan kesusahan
tapi aku tetap suka buku ini
penulis terlihat sangat ingin menyampaikan pesan mengkritik penjajah.
azh
rated it
liked it
Pretty fun kalau mau baca buku yg ngasih sensasi ‘kembali ke zaman dulu’. Tapi kisahnya kurang ‘dalem’ dan makna nya kurang ‘kaya’. Di genre yang sama (kisah zaman kolonial hindia belanda), aku pribadi jauh lebih suka buku-buku Pram. It was a fun read tho👍🏻
He also founder of Inlandsche Journalisten Bond, a journalist group on 1914. He became a student of Tirto Adhi Soerjo, another avant-garda journalist in that era.
He died in exile at Boven Digoel on 1935.
Bib
Marco Kartodikromo was a journalist and also Indonesia independent activist, who makes him several times detained in the colonial era. All his works were created in prison, such as Student Hijo.
He also founder of Inlandsche Journalisten Bond, a journalist group on 1914. He became a student of Tirto Adhi Soerjo, another avant-garda journalist in that era.
He died in exile at Boven Digoel on 1935.
Bibliography:
* Mata Gelap (1914)
* Student Hidjo (1918)
* Matahariah (1919)
* Rasa Mardika (1918) and reprinted 1931
* Sair Rempah-rempah (1918)
* Sair Sama Rasa Sama Rata (1917)
* Babad Tanah Djawi (1924-1925)
…more
Related Articles

Welcome back. Just a moment while we sign you in to your Goodreads account.
Karya Apakah Yang Ditanggapi Novel Student Hidjo
Sumber: https://www.goodreads.com/book/show/1815215.Student_Hidjo